Satu Pertanyaan Sederhana dari Ibu


"Nak, kamu apa kabar?"

Satu pertanyaan sederhana. Sangat sederhana. Ketika aku membaca pesan ibu dipenghujung hari, "Nak, kabar kamu bagaimana?" aku mendapati diriku duduk terdiam cukup lama, bahkan terkadang mataku basah dan perih dibuatnya. 

"Harus aku jawab apa?" tanyaku pada diriku sendiri. Aku kebingunan sendiri, dan akhirnya belajar bohong untuk kesekian kali. Aku tidak pernah menyangka satu kalimat sederhana yang dulu bisa begitu mudah aku jawab ketika aku remaja, menjadi kalimat yang sekarang sering membuatku kebingungan luar biasa ketika beranjak dewasa. 

Mungkin jika pertanyaan itu ditanyakan padaku ketika aku berumur 15 tahun aku akan sangat bersemangat menceritakan bagaimana hariku, menceritakan apa yang aku perlajari di sekolah pada hari itu, menceritakan tentang lelaki pertama yang telah membuatku jatuh cinta. Atau jika pertanyaan itu ditanyakan padaku ketika aku berumur 17 tahun aku akan langsung kesal ataupun marah, entah kenapa beberapa dari kita pasti pernah menjadi remaja yang sangat menyebalkan. Mengira ibu terlalu ikut campur, kataku "kan sudah terlihat jelas bu, aku cape, kenapa masih bertanya, aku—"  dan masih banyak lagi (sungguh aku remaja yang sangat menyebalkan dulu). 

Bagaimana caraku menjawab terus berubah dengan semakin bertambahnya umurku, mereka menyebutnya "dewasa". Aku tidak tau konsep seperti apa dewasa itu, aku tidak tau bagaimana asal usulnya beberapa rules yang ada sampai kamu bisa disebut "dewasa", yang aku tau aku banyak berbohong untuk baik-baik saja. 

Aku sering tidak mengizinkan ibuku untuk khawatir, padahal ibu sering bilang kekhawatiran adalah bagian besar dari mencintai. Menjadi ibu tidak akan terasa menjadi ibu jika tidak merasakan kekhawatiran akan anaknya. Ibu khawatir karena ibu mencintai. Tetapi tetap saja bu, anak seperti apa aku jika harus membuatmu tidak bisa tidur dimalam hari. 

Tidak membiarkan ibu khawatir ternyata membuat ibu merasa hubungan kita mulai merenggang. Aku tidak sadar, tenyata menjadi dewasa dengan cara seperti itu membuat hubunganku renggang dengan ibuku. Ibu bilang, "aku rindu putriku yang berumur 5 tahun." Sungguh jika aku bisa mengatakannya, aku pun rindu bu. Aku ingin menangis seperti dulu, datang ke ibu mengadukan semuanya. Menangis sejadi-jadinya, tanpa takut orang lain akan menghakimiku. But, life makes me so quite. It feels more comfortable to not say a damn thing than have to explain it to someone. Sungguh bu, aku harus menjadi dewasa seperti apa sebenarnya?

Tetapi terlepas dari itu, kiranya mungkin kita harus mulai belajar untuk sesekali memberi ruang pada kejujuran untuk ikut andil didalamnya. Bicarakan. Ceritakan. Sama seperti ketika kita kecil dulu. Hal-hal kecil yang menurutmu tak berguna itu dirindukan orang tua mu. Sungguh jangan menjadi dewasa terlalu cepat. Jangan menjadi dewasa yang menyepikan seseorang. 

Comments