Selama aku di Yogyakarta, tak jarang aku meninggalkan jatah breakfast yang telah hotel sediakan, entah mengapa aku jadi lebih gemar untuk membeli makanan di pinggir jalan. Kau tau makanan-makanan yang dijual oleh orang-orang sudah sepuh dengan alas atau gerobak yang sudah hampir lapuk, seperti gerobak itu ikut ditempa kerasnya hidup di jalanan. Mungkin aku tidak akan mendapatkan foto makanan estetik seperti di instagram teman-teman ku, tapi aku punya dua kemungkinan yang jauh lebih berkesan menurutku yaitu aku akan mendapatkan rasa makanan yang otentik atau aku akan mendapatkan cerita yang luar biasa menarik. Seperti halnya hari ini, setelah menemani temanku memotret lalu lalang jalanan dan toko-toko tua di sekitar Jalan Bhayangkara, Ngupasan, kami menemukan satu penjual sate di depan ruko yang belum buka. Gerobak kecil dengan tangan yang terus-terusan mengipasi beberapa tusuk sate yang terlihat hampir matang di sana. Wanita lansia dengan tangan yang sudah keriput semua, aku yakin tangan itu telah berjuang luar biasa. Ada banyak bekas pecutan asap jalanan dan terik matahari disana. Mengenakan baju tak senada dan alas kaki apa adanya.
Senyum hangat menyambut kami di tengah panasnya hari ini. Aku menimpali senyum tersebut sambil berkata, "Nyuwun sewu mbah, boleh pesan satenya 2 porsi?"
beliau berdiri dari kursi plastik yang didudukinya sambil menjawab, "Monggo, monggo mbak. Duduk dulu, sebentar nggih, saya buatkan."
lalu kami sedikit mengobrol, beliau bertanya asal kami, sudah berapa lama kami di sini, dan tujuan kami datang kesini. Aku jawab pertanyaan-pertanyaan tersebut apa adanya, tapi tidak dengan temanku. Entah ada angin apa, dia tiba-tiba menimpali "Mbaknya ini lagi nyari jawaban mbah, tapi belum dapet-dapet, mangkanya dari tadi mukanya agak kaya orang linglung" dengan nada cengengesannya lalu iya tertawa keras mengerti benar banyak hal yang mengganggu pikiranku sejak beberapa hari belakangan ini.
Aku sontak melebarkan mataku mendengar ucapan temanku tersebut, aku merasa sedikit malu, lalu ku jawab, "Engga gitu sih mbah, namanya anak muda kan mbah banyak sekali kebingungannya hehe. Kaya emang suntuk aja rasanya, saya tanya kenapa ini kaya gini sih Tuhan, mau dibawa kemana sebenarnya saya ini, seperti itulah mbah. Bingung jadi anak muda mah"
Si mbah hanya tersenyum dan melanjutkan bercerita, "Wes sak wajare cah enom paggone bingung, wong yang tua saja juga masih bingung toh hahaha. Nduk, manungsa ra ngarah iso ngerti jawabane sang kuoso nek manungsa iku wes nentukno opo seng pengen di rongokno."
Seketika aku berhenti mengunyah sate yang baru masuk ke dalam mulutku. Kalimat itu terus-terusan terdengar, seperti kami berbincang di antara tebing-tebing, suara beliau menggema di kepalaku. Rasanya seperti aku baru saja ditampar keras tapi begitu manis di pipiku.
Kamu tidak akan pernah mengerti jawaban dari Sang Pencipta kalau kamu sudah menentukan apa yang mau kamu dengar dari-Nya.
Seperti rasanya aku ditarik mundur jauh sekali, kejadian demi kejadian terputar kembali di otak ku. Seperti aku mencoba mengais-ngais kerangka-kerangka memori yang ada dalam kepalaku dan mungkin saja jawabannya terselip di suatu laci di sana. Aku terdiam lama, tak menimpali apapun dari apa yang si mbah ucapkan. Sampai akhirnya ada satu suara dari dalam diriku, entahlah aku bingung menjelaskannya, suara itu berkata...
Untuk meluaskan hati dan jiwamu
Setelah mendengar itu, aku mulai tersadar dari lamunan panjangku. Aku menoleh ke arah si mbah yang masih sibuk mengipasi beberapa tusuk sate disana. Aku tersenyum lebar lalu berkata, "Matur suwun mbah." Aku seperti di ingatkan lagi, mungkin aku sedang lupa beberapa hari ini. Benar juga, mungkin jawaban Tuhan begitu sederhana tapi ego ku terlalu tinggi hingga tak bisa memahami-Nya.
Semua hal yang terjadi dalam hidupku, senang dan susahnya, pahit dan manisnya, buruk dan baiknya, mengerucut pada satu kesimpulan jawaban yang sangat sederhana, untuk meluaskan hati dan jiwaku, sudah itu saja. Bagaimana aku bisa mejaga fitrah ku sebagai seutuh-utuhnya manusia sampai hari dimana aku harus pulang lagi kepada-Nya.
-
Terima kasih mbah telah mengingatkan saya kembali. Terima kasih karena ketidaksengajaan pertemuan kita, membuat hati saya jauh lebih tenang. Terima kasih. Semoga mbah diberikan umur yang panjang, semoga saya diberikan umur yang cukup panjang agar kita bisa bertemu kembali nantinya.
(Karena keasyikan mengobrol, sayang sekali aku lupa menanyai nama dari beliaunya. Mungkin memang benar aku harus datang lagi kesana.)

Comments
Post a Comment