Aku tidak menangis ketika itu terjadi. Tidak ada setetes pun menari pada pipiku ini. Aku tidak bisa, sekalipun aku menginginkannya. Aku harus bangun pagi untuk bekerja, dan berlari kembali pulang ke rumah, menjadi segalanya untuk semua orang, semua orang kecuali diriku sendiri. Tak ada cukup waktu dalam sehari untuk berduka. Jadi, aku diam. Kubisikkan pada diri ini, Nanti saja. Aku akan menghadapinya nanti. Kapanpun 'nanti' itu akan tiba. Seminggu berlalu. Mungkin dua. Waktu mengabur ketika kau hanya berusaha bertahan—kau paham maksudku bukan?
Dan kemudian pada suatu pagi, aku menumpahkan cokelat hangat yang baru saja kubuat. Tanpa alasan yang jelas, air mata itu terjatuh, aku menangis. Aku terduduk diam di samping tumpahan cokelat panas yang berceceran di lantai, tersedak oleh rasa sakit yang terlalu besar untuk tubuh ini. Di sana aku tersadar, Ini bukan tentang cokelat hangat sialan yang baru saja tumpah. Ini tentang beban yang kubawa diam-diam, tak terlihat, bersarang di dadaku seperti batu karang, berpura-pura menjadi sesuatu yang bisa kutanggung sendirian.
Aku pikir aku kuat. Kupikir jika aku terus bergerak. Bahwa jika aku cukup sibuk, cukup teralihkan, aku bisa melarikan diri darinya. Tapi, sungguh sial, ia menemukanku juga pada akhirnya.
Karena ke mana lagi kau bisa lari, ketika segala yang kau hindari telah lama bersemayam di dalam dirimu sendiri?
Rasa sakit tidak selalu datang dengan gemuruh badai. Kadang ia hanya menunggu—diam, sabar—seperti dedaunan yang mengering di tepi jalanan, atau debu-debu yang menumpuk di pojokan kamar. Sampai suatu saat kau tersandung oleh hal-hal sepele bahkan yang terdengar konyol sekalipun: sandal jepit yang putus talinya di tengah hujan, kaus kaki yang selalu hilang sebelah di tumpukan cucian, sendok terjatuh ketika sedang asyik makan atau mungkin sepotong roti panggang yang gosong di tepian. Lalu dengan lembut ia berbisik:
"Sekarang, aku harus kau rasakan."
Dan kau pun menangis. Bukan karena cokelat hangat, bukan karena lelah hari ini, tapi karena semua yang kau pendam akhirnya memilih untuk tak diam—dengan cara yang paling sederhana dan manusiawi: melalui air mata yang tak bisa dibendung lagi.
Mungkin memang begini adanya cara jiwa kita bernapas.
Mungkin begini adanya cara hati kita mengaduh, "Aku lelah. Aku butuh diakui."
Jadi, jika suatu hari kau mendapati dirimu tiba-tiba menangis karena hal yang tampak kecil dan konyol, jangan malu. Jangan marah pada dirimu. Kadang, tubuh kita lebih tahu kapan waktunya berhenti berlari.
Dan tangisan itu? Itu bukan kelemahan—itu adalah keberanian. Keberanian untuk akhirnya merasakan.
Karena aku rasa, hidup bukanlah tentang seberapa kuat kau sanggup menahan segalanya, tapi tentang seberapa jujur kau mampu mengakuinya—bahwa,
Aku manusia. Aku terluka. Dan aku butuh waktu untuk menyembuhkannya.
Di balik semua air mata yang tumpah karena hal-hal 'konyol' itu, ada jiwa yang sedang membersihkan luka-lukanya dengan cara yang paling purba— merasakannya, sepenuhnya, untuk pertama kalinya.
Comments
Post a Comment