Dalam 807 Hari

Aku selalu bertanya tentang seberapa luas langit di atas sana?
Serumit apakah sudut-sudut rahasia tempat Engkau menyembunyikannya?
Seberapa jauh jarak untuk mengejar bayang yang larut dalam cahaya?
Berapa nilai tepat dari lapisan dimensi tak terhingga?
Teknologi seperti apa yang bisa menembusnya?

Karena Tuhan...
Tuhan, aku tidak punya apa-apa yang bisa aku tawarkan selain hatiku
Aku tidak punya apa-apa selain rasa cinta yang menggumpal di tenggorokanku
Aku tidak punya apa-apa selain anak-anak rindu yang menangis diam di setiap do'a ku
Apa itu sepadan?
Apa itu cukup adanya? 

Aku hitung setiap detik, setiap napas yang masih ku punya,
namun keabadian-Mu membisu tak bersuara.
Di antara triliunan bintang yang Engkau punya, 
adakah secuil ruang untuk rindu yang tersisa?
Jika cinta adalah bahasa yang Kau pahami,
mengapa ia terasa seperti belati yang mengiris sunyi?

Jika rindu adalah peta yang Kau izinkan,
mengapa aku tersandar di gerbang keabadian—
terlalu kecil untuk dimengerti,
terlalu rapuh untuk diterangi?
Ke mana harus ku bawa diri ini?

Dia telah pergi—
dan dimensi itu terlalu dingin
untuk kujelajahi sendiri.
"Bawalah aku, atau pupuskan saja sisa-sisa waktu ku—
sebelum aku menjadi debu yang terlupakan di antara bintang-bintang-Mu."


Jika nanti ada seseorang yang memberitahumu,
"Waktu adalah pencuri"
Jangan kau percaya ucapan mereka.
Jangan.
Sebab mautlah sang perampas sejatinya,
Sementara waktu...
waktu adalah hadiah
yang sangat berharga.


Aku tidak punya apa-apa yang bisa aku tukarkan,  
tapi jika— jika saja jiwaku cukup akan aku berikan. 

Comments