'Pasang senyum di rak ruang tamu,
simpan tangis di laci kayu.
Bersihkan duka yang melekat di jubahmu
sebelum kau menodai karpet merahku.'
Lancang benar ucapanmu
Kau hanya mencintaiku
saat tawaku gemerincing dalam telingamu
saat mataku memantulkan kejantananmu
dan egomu tumbuh, merasa paling tahu.
Bukankah sampai di situ saja batas cintamu itu?
Pernah kuserahkan seutuhku,
tangan hangat, jiwa tanpa ragu.
Malam-malam panjang kulipat jadi alas tidurmu,
aku berjaga, sementara kau terlelap dalam nafsumu.
Tak sedikitpun kau tahu,
apa yang kutelan sebelum akhirnya menjamu riang sebagai kudapanmu,
apa harga yang harus ku bayar untuk cukup kuat jadi perempuanmu.
Membiarkan dunia melihat kita sebagai satu,
bahkan saat aku sendiri nyaris tak mengenali bayanganku.
Hingga saat retakku tak bisa kupadu,
saat topengku retak, bukan cantik yang dulu,
cahayaku melayu, ragaku luruh satu persatu.
Aku lenyap dari cerita dan waktu,
terinjak-injak di bawah kakimu yang berlalu.
Buang segalanya—aku setuju.
Hancurkan hatiku,
patahkan tiap sisi lembut dalam suaraku,
luruhkan air mata yang membasahi nadiku.
Jika harus ada yang tertinggal pilu,
biarlah itu menjadi bagian napasku.
Aku tak akan melawanmu.
Tapi satu hal—
jangan sentuh keyakinanku,
jangan hancurkan itu.
Pada cinta yang tak pilih-pilih waktu,
pada pelukan yang tak menuntut senyum dulu,
pada kasih yang tak mengasingkan ketidaksempurnaanku.
Biarkan itu tetap hidup dalam diriku.
Jangan kau ambil juga dariku.
Comments
Post a Comment