Beberapa jiwa hadir tanpa membawa gema,
namun semesta mengubah porosnya saat mereka tiba.
Mereka hanya… ada.
Dari cara mereka membungkus do'a,
menyulam riang dalam harinya,
membiarkan angin belajar lembut dari langkahnya—
kau tahu ada binar yang tak dimiliki sembarang jiwa.
Dan tentu saja aku tidak khawatir sedikitpun saat waktumu tiba.
Melihat peringaimu, surga mana yang tak bahagia?
Mereka pasti bersorak gembira menyambutmu di atas sana,
kedatanganmu pasti telah ditunggu lama.
Tapi bagaimana denganku jika esok tiba?
Bagaimana dengan hari-hari selanjutnya?
Bagaimana dengan rumah berapi yang tak ada penawarnya?
Bagaimana caraku menua jika diriku ikut hilang juga?
Bagaimana aku bisa kembali percaya?
Di rumah yang buas retaknya,
kau dinding terakhir yang aku punya.
Jika lembar mulaku dinamai utuh oleh dunia,
itu karena kau tak kemana-mana,
berdiri di antara aku dan segala yang mestinya menjaga.
Aku tumbuh dengan caramu mencintai dunia,
menjadi jiwa yang penuh makna.
Ruamku menjelma cahaya,
bara jadi rumah yang ramah sentuhannya.
Langit tidak terasa terlampau jauh warnanya,
karena kau ajarkan kami mengimani dalam dan luasnya samudra.
karena kau ajarkan kami mengimani dalam dan luasnya samudra.
Tapi nirwana mudah sekali cemburu,
bergegas ia merebutmu dariku,
kau tahu aku menyayangimu sedalam itu,
hingga keberadaanmu membuat langit kalah dan malu,
maka kau dijemput paksa, tanpa seizinku.
Seharusnya aku duduk lebih lama,
seharusnya ku ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya,
seharusnya dulu ku tanyakan padamu bagaimana—tentang segalanya,
memintamu menuliskannya juga,
agar aku tahu arah saat kau tak tersisa.
Seharusnya ku simpan setiap helai rambut yang berceceran di atas meja,
karena kini, bahkan serpihan terkecil tentangmu telah diambil dariku seutuhnya.
Kupandangi tulisan di kertas tua,
dan lemari penuh mimpi yang tak sempat kau bawa.
Kini kau wariskan padaku semuanya,
termasuk sunyi yang tak tahu harus kutaruh di mana.
Ada hari-hari di mana aku ingin berlari pulang,
meneriakan namamu, "lihat apa yang kubawa dari hari-hariku yang panjang!".
Kau masih hidup, kau masih hidup di kepalaku.
Sepasang kursi tua di ruang tamu,
harum khas melati rambutmu,
bantal kecil sandaran punggungmu,
toples kue yang tak pernah kosong karenamu,
selimut usang yang masih melekat bau tubuhmu,
kamarmu yang lebih dingin sejak hari itu,
semua masih bernyawa di mataku,
menua bersamaku.
Katakan, kematian mana yang benar-benar menuntaskan rekaman waktu?
Kau pergi,
dan waktu sama sekali tidak peduli.
Aku belum selesai dengan semua ini,
dan waktu sama sekali tidak peduli.
Aku belum selesai dengan semua ini,
tapi dunia terus berjalan tanpa pernah menungguku lagi dan lagi.
Mereka bilang,"Berhentilah, sudah terlalu lama harumu."
tapi pernahkah mereka hidup dengan jantung yang direnggut secepat itu?
Pernahkah mereka menjamu cinta sepatuh aku?
Jangan paksa aku mengering hanya karena waktu,
biarkan kehancuran tinggal di dalamku,
biarkan duka bernapas sebebasku,
biarkan segalanya terasa sesakit yang seharusnya berlaku.
Kita berdua binasa malam itu,
tetapi hingga kini yang bernapas hanya aku.
Mari bertemu lagi.
Berjanjilah padaku untuk bertemu lagi.
Kumohon kita harus bertemu lagi.
Mari bertemu lagi ketika waktuku sudah tiba nanti...
Comments
Post a Comment